Tulisan ini hadir karena kegundahan yang penulis rasakan selama ini terkait dengan pemilu 2024. Sebagaimana yang kita telah lihat, para capres, cawapres dan caleg tiba-tiba begitu sering dan rajin sekali berkunjung ke lembaga-lembaga semacam pondok pesantren dan ormas keagamaan. Hipotesa awal penulis mengenai hal ini adalah karena mereka punya anggapan bahwa hubungan santri dan guru adalah salah hubungan yang paling kuat dalam entitas kemasyarakatan kita. Mereka berkonklusi bahwa apabila sang guru menjatuhkan pilihan maka seluruh santrinya akan ikut gerbong pilihan yang sama. Model semacam ini bisa juga ditemukan pada hubungan artis dan fansnya, hubungan pejabat daerah dan warganya, begitu seterusnya. Melalui tulisan ini penulis ingin memberikan antitesa mengenai konklusi tersebut.
Penulis mengawali tulisan ini dengan sedikit menguraikan ingatan penulis pada potongan video debat ilmiah antara seorang Kiai Said 'Aqil Siroj dengan sekolompok gawagis muda yang di antaranya adalah Kiai Abdullah Syamsul Arifin, Ustadz Idrus Romli dan kawan-kawan. Penulis lupa tahun berapa debat itu diadakan, namun apabila di-search di Youtube insyaalloh masih ada. Ketika itu Kiai Said berargumentasi tentang sikap fair-nya Nabi Saw. ketika berdebat dengan salah satu orang Nashrani dari Najron. Nabi mengawali debatnya dengan bacaan:
إنا أو إياكم لعلى هدى أو في ضلال مبين
"Boleh jadi kami atau kalian yang benar dan boleh jadi juga kami atau kalian yang salah." Setelah ingat bacaannya, penulis mencari di ayat dan surat apakah bacaan tersebut berada. Ternyata di surat Saba' ayat 24. Kali ini penulis mencari beberapa pendapat tafsir tentang ayat tersebut. Awalnya, ternyata ayat tersebut berbicara tentang titik temu antara Nabi Saw. dan orang kafir dalam hal siapakah yang memberi rezeki dari langit dan bumi. Nabi Saw. diperintah untuk menjawab bahwa ialah 'Allah'. Guna menghilangkan persepsi bahwa yang dimaksud adalah 'Allah' yang sama, ayat tersebut dilanjutkan dengan '...innaa au iyyakum...' di atas. Perhatikan, Nabi Saw. tidak berkata 'kami benar dan kalian salah'.
Apa yang kita yakini benar 'di dalam' sudah seyogyanya untuk diyakini sebagai kebenaran, namun ketika yang kita yakini benar tampil 'ke luar' maka ia sudah menjadi elemen relativitas baru yang bisa juga diyakini benar oleh orang lain dan sebaliknya, dianggap salah oleh orang lain. Hukum Islam sebagaimana turunnya dahulu adalah suatu produk yang kita yakini kebenarannya dari segi wurud ataupun matan-nya. Namun ketika ia dihadapkan dengan heterogen masyarakat, kondisi lingkungan dan sebagainya maka ia harus menjelma menjadi elemen baru yang substansinya masih ada namun menjadi titik temu bagi semua. Contoh paling mudah dalam memahami paragraf ini adalah Pancasila, ia adalah produk konsensus yang disepakati oleh sekian elemen dari majemuknya masyarakat Indonesia, dulu hingga kini. Di lain sisi, kita pun mengiyakan bahwa setiap silanya adalah jelmaan baru dari ajaran-ajaran Islam yang banyak kita temukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
Fantastic Four Madzhab Fikih yang kita kenal pun mempraktikan sikap ini dengan begitu baik, penulis berikan satu contoh satu kutipan dari madzhab yang paling familiar bagi kita. Imam Syafi'i pernah menyampaikan, “Apabila kalian temukan dalam kitabku hal yang menyalahi sunnah Rasulullah saw., ambillah ia dan abaikan pendapatku.” Perkataan beliau serupa ini banyak dengan ragam diksinya. Misalnya dikutip juga pernyataan beliau, “Setiap masalah yang sudah diterangkan hadits shahih dan berbeda dengan pendapatku, maka aku tarik kembali pendapatku, selagi aku hidup atau sudah mati.” Bagaimana bisa sekelas mujtahid muthlaq yang telah susah payah mencurahkan ilmunya tersebut, justru berpesan kepada muridnya untuk bersikap apatis atas pendapatnya sendiri. Kalau tidak saking rendah hatinya sebab tahu urusan ilmu kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat, bisa jadi karena beliau tahu setiap manusia punya akal sendiri guna menjatuhkan pilihan, termasuk atas ilmu yang akan ia pilih.
Lebih dekat ke era ini, diceritakan oleh Gus Dur bahwa Kiai Adlan Aly (Cukir) pernah mengingkari janjinya dengan Hadhrotussyaikh untuk mengikuti tarekat tertentu. Sepeninggal gurunya tersebut, Kiai Adlan justru mengikuti tarekat Kiai Romli (Rejoso), bahkan hingga menjadi salah satu perwakilan mursyidnya. Dijelaskan oleh Gus Dur bahwa yang dilakukan Kiai Adlan merupakan sebuah ketaatan asas dalam berpikir. Kiai Adlan mengandalkan rasionalitas berpikirnya bahwa larangan Hadhrotussyaikh atas tarekat dulu lebih banyaknya didasarkan rasa khawatir terjadi kultusisasi pada Kiai Kholil (Rejoso) yang saat itu memegang tarekat Naqsabandiyah. Sebaliknya, Kiai Adlan dengan sikap rasionalnya beranggapan bahwa agama Islam -di saat semakin sulitnya orang mendalaminya- justru akan lebih mudah digapai oleh orang-orang yang tidak begitu bergairah dalam menjalankan agamanya. Pilihan terbaik bagi mereka adalah mengikuti tarekat daripada meributkan tentang kebolehan tarekat itu sendiri.
Kisah semacam ini, sebenarnya banyak penulis simpan di memori namun kiranya dua contoh di atas cukup sebagai landasan untuk boleh-boleh saja berbeda pilihan dengan gurunya. Dalam bahasa yang lebih ilmiah sikap ini merupakan sikap ketundukan di dalam (inner obedience) yang tampak sebagai pengingkaran di luar (outer disobedience). Namun pertanyaan sulitnya adalah seberapa mampu kita dapat mempertahankan sikap ini agar ia mampu melepaskan diri ketundukan luar dan lalu diam-diam melakukan ketundukan di dalam guna mengembangkannya menjadi hal baru yang lebih baik. Hemat penulis, ketundukan di luar secara leterlek atas perintah pilihan oleh guru sudah merupakan sikap yang baik. Yang paling buruk adalah ketika melakukan sikap ketundukan di luar pada gurunya namun ia malah mengkhianati di dalam, semoga kita dihindarkan dari hal tersebut.
Penulis : Robi Pebrian