Beberapa hari ini, Menteri Agama RI yang baru, Nazaruddin Umar, dalam satu kesempatan menyampaikan bahwa, jika di Indonesia tidak ada kolonialisme, maka perguruan tinggi yang ada adalah Universitas Lirboyo, Universitas Langitan atau Universitas Tebuireng.
Apa yang disampaikan Menteri Agama tersebut, dari pendekatan sejarah masa lalu benar adanya. Kalau kita melakukan kajian sejarah, maka kita mendapatkan bahwa, lembaga pendidikan tinggi di wilayah yang sekarang menjadi Indonesia, sudah ada sejak masa kerajaan Nusantara. Mulai dari kerajaan yang paling tua, sampai kerajaan besar terakhir, Majapahit.
Di saat eropah mengalami masa gelap (dark age), karena tidak berkembangnya intelektual dan ilmu pengetahuan, di Nusantara sedang jaya-jayanya kerajaan besar Sriwijaya, yang menjadi pusat pendidikan tinggi agama Budha. Bahkan, menurut riwayat, para mahasiswa yang akan menempuh pendidikan di India, harus belajar di Sriwijaya.
Setelah masa keemasan Sriwijaya pudar, kerajaan besar selanjutnya di Nusantara adalah Majapahit. Dari berbagai bukti sejarah dan situs yang telah ditemukan, masa keemasan kerajaan Majapahit dibarengi dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan pusat-pusat pendidikan.
Setelah Majapahit runtuh, tradisi mengelola lembaga pendidikan dilanjutkan oleh para wali, sampai berdirinya pondok-pondok pesantren, yang berkembang saat kolonialsime Belanda mencengkeram erat di bumi Nusantara. Lembaga pendidikan pondok pesantren ini menjadi urat nadi berkembangnya ilmu pengetahuan, terutama yang berbasis ke buku-buku yang ditulis di masa keemasan Islam era Abbasiyah (Abbasid).
Keberadaan pondok pesantren beserta sistem pembelajarannya mampu bertahan ratusan tahun, sejak abad 16-17 masehi atau bahkan sebelumnya, sampai saat ini. Sebelum pemerintah kolonial Belanda melalui kebijakan politik etis-nya di akhir abad 19 (akhir tahun 1800-an) mendirikan sekolah-sekolah untuk kaum pribumi, pondok pesantren sudah menjadi lembaga pendidikan yang menempa pelajar untuk menggeluti ilmu pengetahuan. Bahkan, pondok pesantren menjadi basis gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda, tidak hanya bergulat pada keilmuan murni.
Dari sini, jika ditarik akar "geneologi"-nya, pendidikan sekolah yang ada di Indonesia saat ini adalah warisan kebijakan kolonialisme Belanda. Karena itu, apapun modifikasi yang ditimpakan ke lembaga sekolah, watak kolonial-nya masih kentara. Apakah modifikasinya menggunakan pelajaran salaf pondok pesantren atau dengan memasukkan muatan lokal, watak post-kolonial-nya masih kentara.
Watak kolonial yang bisa kita lihat salah satunya adalah penyeragaman (misal dalam berpakaian), yang saat ini kita anggap sebagai kedisiplinan. Padahal dalam literatur pesantren kedisplinan tidak mengenal dengan penyeragaman. Kedisplinan di tradisi pesantren dilakukan dengan pengembangan intelektualitas, kesungguhan, kesabaran, petunjuk guru dan lamanya masa belajar.
Watak lain kolonialisme adalah dalam segi metodologi pembelajaran, yang di dalamnya mencakup sistematika pembelajaran, yang berbeda antara sistem sekolah dan pondok pesantren.
Kembali ke pernyataan Menteri Agama di atas, jika di Nusantara tidak ada kolonialisme, maka lembaga pendidikan di Indonesia tidak mengenal lembaga sekolah ala kolonial. Karena lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Indonesia akan berbentuk pesantren-pesantren. Namun saat ini, banyak pondok pesantren yang mengadopsi sistem sekolah, yang jika tidak hati-hati maka pesantren akan menjadi sekolah dan kehilangan ruh pesantren-nya.
Oleh: Alba