Hafalan adalah sebuah istilah populer di kalangan pesantren, yang di ambil dari kata Bahasa Arab al hifdz (الحفظ). Begitu pentingnya hafalan sehingga dimasukkan dalam struktur kurikulum pesantren, baik di Madrasah Diniyyah maupun Umum.
Tulisan ini tidak bermaksud mengkritisi hafalan dari sisi bahasanya. Namun, patut kiranya dilihat kembali, apakah prakteknya selama ini betul-betul sesuai dengan yang dimaksud pada kata Bahasa Arab الحفظ ?
Kata tersebut banyak ditulis dalam literatur berbahasa Arab yang berisikan akhlak dan pendidikan, seperti dalam kitab Ta'limul Muta'allim, sehingga sangat akrab di kalangan santri dan pesantren.
Namun dalam prakteknya, kata tersebut mengalami penyederhanaan makna, yang diterjemahkan menjadi sekedar "hafalan". Lebih ironis lagi, kata tersebut disamakan dengan kata mengingat: menyebut berdasarkan ingatan yang menggunakan aspek kognitif belaka.
Sebagai contoh seorang anak dikatakan hafal nadhzam kitab Alfiah Ibn Malik hanya dengan melafadzkan bentuk nadzamannya tanpa tahu maksud dari nadzam yang ia baca. Kalau hanya itu yang dimaksud, sekiranya tidak perlu adanya persyaratan yang begitu ketat sebagaimana yang telah diuraikan dalam kitab Ta'limul Muta'allim.
Karena, itu sama saja dengan orang atau anak yang hafal lagu-lagu, bahkan pelafalan Alqur'an-pun dapat di ucapkan di luar kepala oleh kalangan non muslim seperti kisah orang Belanda (Snouck Hurgronje) ketika menjajah Indonesia waktu itu. Seorang artis bisa cepat hafal berbagai macam lagu dan seterusnya. Mungkin kata yang tepat untuk menggantikan istilah al hifdzu (hafalan) sesuai konteks di atas adalah al-tilawah bilghoib (التلاوة بالغيب) atau membaca dengan tidak melihat.
Padahal kata yang sering dipakai acuan di kalangan pesantren mengenai hal ini adalah sebuah bait syiir Imam Syafi'i yang berbunyi:
شكوت الي وكيع سوء حفظي# فارشدني الي ترك المعاصي
Saya melaporkan kejelekan hafalan saya kepada Syekh Waki', lantas beliau menunjukkan saya agar meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.
Diteruskan dengan bait:
فأخبرني بأن العلم نور
ونور الله لا يهدي لعاصي
Di situ dikatakan bahwa، ilmu adalah Nur Allah SWT yang tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat dan ahli maksiat.
Kalau kita berpedoman pada syiir di atas, kiranya terjemahan yang tepat dari kata الحفظ adalah "penjagaan-menjaga" atau "ngerekso" (Jawa) sebagaimana yang terdapat dalam kamus-kamus umum Bahasa Arab. Adapun cara untuk menjaga (ngerekso) ilmu yang dimaksud adalah dalam bentuk pengamalan Ilmu itu sendiri, antara lain dengan cara meninggalkan kemaksiatan.
Persyaratan yang ketat semacam itu menunjukkan bahwa, ilmu adalah sesuatu yang suci yang hanya dapat dijaga oleh orang-orang yang memiliki hati yang bersih (suci).
Sedangkan pengetahuan yang hanya sampai pada ranah fikiran( kognitif), dapat di kuasai oleh seseorang secara umum.
Akan tetapi yang menarik bagi penulis adalah mulai kapan munculnya penyederhanaan makna kata الحفظ tadi?
(Rahmat Basuki, S.Pd., Guru Madrasah Muallimin Muallimat Bahrul Ulum Tambakberas)