Oleh: Ahmad Musyaffak (Guru Madrasah Muallimin Muallimat)
Ada sebuah penelitian terhadap karakter asli manusia, mulai dari level usia anak, remaja, sampai dewasa, dengan latar pendidikan bervariasi, untuk membuktikan bagaimanakah watak dasar manusia itu sebenarnya.
Dalam penelitian itu, sampel pertama adalah anak-anak usia TK, dengan mengeksperimentasikan instrumen pembuktian watak melalui permen. Saat anak-anak bermain sesama temannya dalam suasana berkumpul yg penuh keakraban, keceriaan, kerukunan, kemudian sebungkus permen dilempar di hadapan mereka. Apa yg terjadi? Suasana yg penuh keakraban tadi berubah menjadi susana saling berebutan, persaingan, ingin mendapat lebih dari yang lain, sampai timbul pertengkaran.
Lebih ringkasnya eksperimen melempar permen diterapkan kepada semua sampel tingkatan usia manusia dengan istrumen sesuai tingkatan usia. Ternyata semua eksperimen yg dilakukan hasilnya sama, yakni karakter manusia mulai usia bawah sampai atas itu sangat rakus, ingin bersaing lebih dari lainnya dengan cara apa pun, mudah berselisih, bertengkar, dan bermusuhan, jika dihadapan mereka disuguhi lemparan "permen" (pemberian yg dapat menyenangkan nafsu dunia).
Semakin meningkat usia dan pendidikan manusia, maka semakin hebat sifat rakus dan penyimpangannya untuk meraih kesenangan nafsu dunianya.
Fenomena saling berebut, bersinggungan, bersaing, berselisih, bertengkar, bahkan sampai pada bermusuhan, bahkan sampai terjadi pertumpahan darah yang terjadi di dunia hingga sekarang bermuara dari nafsu liar yg tidak pernah dilatih lapar.
Seperti yg terjadi saat ini, mulai kasus berebut bantuan minyak goreng, kebutuhan pokok menjelang lebaran, bahkan sampai berebut posisi jabatan, tender proyek, dan perilaku penyimpangan lain, mulai dari penimbunan komoditas bahan makanan pokok, korupsi, mafia, dan pelaku kartel perdagangan, sampai kasus berebut wilayah kekuasaan negara dengan peperangan seperti yg terjadi di Rusia dan Ukraina.
Maka tidak heran bila Allah yang telah memberikan waktu 12 bulan, tidak seluruhnya diberikan kepada manusia kebebasan mutlak untuk mengenyangkan perut dan nafsunya dengan kesenangan duniawi. Allah menyisakan satu bulan untuk berpuasa, yaitu bulan Ramadhan untuk menjauhi kebebasan nafsu perut dan hatinya.
Mengapa diperintahkan berpuasa cukup satu bulan saja? Allah adalah sang pencipta yang sangat maha tahu akan kelemahan ciptaannya. Perintah puasa sepintas nampak menyiksa. Namun setiap yang nampak tidak enak bisa jadi berakhir sangat enak.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ.
Hanya dengan puasa perut dapat dikosongkan sehingga dapat melemahkan hal-hal yang mendorong keinginan nafsu makan dan diharapkan dapat membawa dampak pelemahan keinginan nafsu jahat lain yang hanya bisa dilemahkan dangan cara berpuasa.
Sifat nafsu bagaikan anak bayi saat harus dihentikan dari asupan ASI. Bila selalu dituruti maka sampai tumbuh besar tidak akan bisa lepas dari ketergantungan ASI, sehingga saat disapih, anak kecil dipaksa lapar dari asupan ASI. Begitu pula cara Allah melemahkan nafsu yang ada pada diri setiap manusia, dengan cara melaparkannya melalui berpuasa. Itulah tujuan berpuasa agar manusia lebih menjadi karakter manusia yang tajam jiwanya sekaligus segar bugar jasmaninya. Target puasa untuk menahan nafsu lisan dari omongan-omongan yang tiada berguna. Dalam istilah agama disebut shoum. Sedangkan target puasa untuk menahan nafsu hati dari perbuatan yg menyimpang disebut shiyam. Tujuan berpuasa memang memiliki dua dimensi: lahir dan bathin.
Selain itu, selama berpuasa manusia dikondisikan untuk senantiasa memumculkan sifat-sifat baik yang ada pada malaikat, yakni sifat istiqomah menjalankan ketaatan kepada Allah melalu berbagai macam ibadah. Kecenderungan sifat malaikat ini nyaris tertutupi dengan sifat-sifat hayawaniyah dan syaithoniyah, krn sangat jarang dilaparkan selama 11 bulan.
Melihat begitu pentingnya asal-mula keterciptaan manusia yg kompleks tersebut, maka manusia diharapkan menjadi mahluk terbaik yang dapat menggeser kedudukan mulianya malaikat dan, harus lebih tinggi dari hewan dan syaitan melalui pendidikan lapar dari perintah berpuasa. Bahkan hewan pun yang menjalani puasa (membiasakan lapar) seperti ayam, ular, dan harimau dapat tampil menjadi hewan yang disegani dan memilki kemampuan dan kelebihan di antara hewan lain sebagai alat kekuataannya untuk menghadapi ancamam luar.
Namun ada pula hewan yg hobinya makan dan tdk mau lapar dan selalu menuruti nafsu makannya tanpa kenal waktu seperti hewan ternak, maka kualitasnya tdk ubahnya sapi, kambing dsb hanya terletak pada kualitas lahirnya saja yaitu hewan pedaging untuk konsumsi daging segarnya saja tanpa punya kemampuan lebih seperti hewan yang mau membiasakan lapar.
Begitulah urgensi dan tujuan diperintahkannya manusia untuk berpuasa disamping ada bonus berlipatgandanya nilai kebaikan di dalamnya. Semua itu untuk memotivasi semangat manusia melakukan kebaikan dalam keadaan lapar agar manusia mengenali jati dirinya bahwa, manusia tercipta dari cahaya kebaikan dari cahayanya Nabi Muhammad Saw.
Manusia yg terdidik dari rasa lapar lebih cemerlang kualitas dirinya sehingga di dalam dirinya terbentuk karakter manusia yg ghinan nafsi, hati dan jiwanya anti rakus dg gemerlap dunia, yang banyak diperebutkan di dunia ini, layaknya anak kecil berebut permen. Karakter pendidikan lapar melalui puasa melahirkan manusia sempurna akal dan hatinya yang selalu berusaha keras untuk menjadi pemberi bukan mengharap pemberian. Manusia yg berpuasa adalah manusia yang menjiwai hadits:
اليد العليا خير من اليد السفلى
"Memberi jauh lebih tinggi daripada menerima pemberian".
Dengan lapar, karakter jiwa dan hati manusia menjadi pintar.