• madrasatuna.1953@gmail.com
  • 0321-865280 (Putri) / 0321-3083337 (Putra)
  • Home
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Sambutan Kepala Madrasah
    • Struktur Personalia Organisasi
    • Jenjang Belajar Dan Ijazah
    • Data Guru
  • Program
    • Program Strategis 5 Tahun (2023-2028)
    • Rencana Kerja 1 Tahun (2023-2024)
    • Rencana Kerja 1 Tahun (2024-2025)
  • Publikasi
  • Pengumuman
  • Download
  • Kontak

Novel: Penghambat atau Penyemangat?

  • Home
  • Berita
Ruang Alumni Selasa, 09-November-2021 09:55 3716

Suatu hari, ada seorang santri, sebut saja Musang, sedang membaca novel fiksi remaja yang  bercerita tentang petualangan seorang anak SMA ke berbagai dunia paralel. Saat sedang asik-asiknya membaca, datanglah salah seorang temannya, sebut saja Izam, dan duduk di sebelah Musang. Musang terus saja membaca buku dan tidak menghiraukan Izam yang memperhatikannya. Kemudian Izam bertanya pada Musang, “Kon moco novel ngene, kitabmu mok lalekno ta?” (Kamu baca novel begini, (ilmu dari) kitabmu apa kamu lupakan?)

Terlepas kisah di atas fiksi atau tidak, saya tertarik membahas masalah ini. Saya tidak menyudutkan beberapa pondok pesantren yang melarang santrinya untuk membawa novel ke pondok, karena memang pelarangan tersebut disertai dengan berbagai alasan yang logis dan dipandang sesuai dengan kondisi lapangan. Tetapi kemudian terbesit pertanyaan di pikiran saya, setelah menulis kisah di atas. Apakah benar membaca novel dapat menghambat proses belajar kitab kuning?

Sebagai orang yang tumbuh besar dengan novel, apalagi novel “Lima Sekawan” yang dikarang oleh Enid Blyton, novel seri “Keci Kecil Punya Karya” terbitan DAR! Mizan dll., pribadi saya cukup tergelitik dengan peryataan bahwa membaca novel itu menghambat proses belajar. Karena saya tidak merasa bahwa proses belajar saya terhambat oleh hobi saya membaca novel.

Pondok saya dulu adalah salah satu pondok yang tidak melarang santrinya untuk membawa novel, selama tidak mengandung unsur pornografi dan isu SARA. Maaf bagi para pembaca yang mengira kisah di atas adalah fiksi, sekali lagi maaf, karena kisah di atas benar–benar terjadi. Kisah di atas, yang mungkin ada beberapa pembaca mengira itu fiksi, adalah sebuah realita yang terjadi di pondok, dimana saya pernah nyantri di sana.

Jujur saja, jika saya ditanya tentang aktivitas apa yang membantu saya dalam memahami kitab kuning, saya akan menjawab, salah satunya adalah sering membaca novel. Berikut saya akan memaparkan 2 (dua) alasan, kenapa membaca novel bisa membantu proses dalam memahami kitab kuning. Disclaimer, ini menurut pandangan saya, dan berdasarkan pengalaman pribadi saya. Jika para pembaca ada yang tidak setuju, bisa kita selesaikan di meja warung kopi, sambil diskusi santai.

1. Melatih daya imajinasi
Teruntuk pembaca yang belum paham apa hubungan daya imajinasi dengan memahami kitab kuning, akan saya jelaskan. Kitab kuning yang dikaji di pondok pesantren biasanya dikarang lebih dari 3 abad yang lalu. Hal ini tentu saja menyebabkan perbedaan yang cukup signifikan antara latar sejarah pada waktu kitab dikarang dan, latar sejarah santri sekarang yang sudah ada di zaman modern.

Selain latar sejarah, model masalah yang muncul di zaman sekarang-pun menjadi lebih beragam dan lebih kompleks daripada masalah yang muncul di masa sang pengarang kitab. Supaya lebih tepat dalam memahami kitab kuning yang memiliki perbedaan latar dan model masalah tersebut, maka para santri dituntut memiliki daya imajinasi tinggi, agar lebih terampil dalam mempelajari dan mengaplikasikan materi di kitab kuning di zaman modern ini. Karena itu, menurut saya, membaca novel, apalagi fiksi, adalah cara yang efektif untuk meningkatkan daya imajinasi anak-anak usia sekolah, agar dapat membantu proses belajar kitab kuning yang membutuhkan daya imajinasi tinggi.

2. Memperkaya kosakata
Lho, kok memperkaya kosakata? Bukannya memperkaya kosakata itu lewat membaca kamus? Kok ini malah membaca novel? Hehe, tenang. Memang memperkaya kosakata itu yang paling tepat adalah dengan membaca kamus. Tapi saya rasa, anak–anak muda zaman sekarang jarang mengisi waktu nganggur mereka dengan membaca kamus. Lalu bagaimana yang dimaksud dengan membaca novel sebagai media pemerkaya kosakata? Saya menerapkannya dengan cara, jika kata kerja A bertemu dengan kata benda B, maka peristiwanya dinamakan C. Misalnya, kata kerja bergerak bertemu dengan kata benda api, maka peristiwanya dinamakan berkobarnya api dan seterusnya. Hal ini tentu saja dapat membantu santri yang kadang maknani kitab-pun masih secara letterleijk dan itu sangat susah untuk dipahami. Sehingga dengan kayanya kosakata yang dimiliki, santri dapat lebih mudah memahami kitab yang di-maknani secara letterleijk.

Sebenarnya tidak masalah, jika mau menilai bahwa, membaca novel akan mengganggu proses belajar, yang dalam kasus saya ini adalah belajar kitab kuning, atau tidak, yang penting tetap saling menghormati tanpa merasa lebih baik dari yang lainnya serta saling belajar dan menasehati dalam hal kebaikan.

Wallahu a’lam bisshowab
Robbi fanfa’na bibarkatihim, wahdinal husna bihurmatihim
Wa amitna fi thoriqotihim, wa mu’afatim minal fitani

M. La Rayba Fie
(Alumni MMA 2021)
 

Bagikan :

Tags

Kitab kuning novel Lima sekawan muallimin

Data dan Fakta

Jumlah Rombel 83 Rombel
Jumlah Total Siswa 3.003 orang
Jumlah Siswa Putra 1.500 orang
Jumlah Siswa Putri 1.503 orang
Guru dan Pegawai 203 orang

Pengumuman Terbaru

  • Edaran PTS I 2024/2025
  • Jadwal PTS I Tahun Ajaran 2024/2025
  • Brosur PPDB 2024

Berita Terkini

Evaluasi Dan Perencanaan Tahunan Program Madrasah, Kamad: Ada Progress Menuju Lebih Baik
Apel Akhir Tahun Dan Penerimaan Rapot, Bidang Kesiswaan Sampaikan Beberapa Hal Penting
Penerimaan Rapor PAT, Kepala Madrasah Ingatkan Siswa Untuk Bermuhasabah Setelah Melakukan Pembelajaran Selama Satu Tahun
Dalam Rapat Kenaikan, Pimpinan Madrasah Tekankan Hal Ini
Rapat Pleno Kenaikan Kelas Tahun Ajaran 2024/2025

Gallery

  • Album(4)
  • Video(25)

Link Pendidikan

  • UNIVERSITAS AL AZHAR
  • KEMENAG RI
  • PENDIS KEMENAG RI
  • PP BAHRUL ULUM

Tentang Kami

Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun Bahrul Ulum Tambakberas Jombang didirikan pada tahun 1953 oleh KH Abdul Fattah Hasyim. Madrasah ini menjalankan kurikulum 70% pelajaran Salaf Pesantren dan 30% pelajaran Kurikulum Nasional. Siswa Madrasah Muallimin Muallimat mengikuti ujian negara tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) bagi siswa kelas 3, dan mengikuti ujian negara tingkat Madrasah Aliyah (MA) bagi siswa kelas 6.

Profil
  • Sejarah
  • Visi dan Misi
  • Sambutan Kepala Madrasah
  • Struktur Personalia Organisasi
  • Jenjang Belajar Dan Ijazah
  • Data Guru
Alamat

Jl. Tanjung, dusun Gedang, Tambakrejo Jombang, Jawa Timur, Indonesia

Copyright © 2025 All rights reserved | mualliminenamtahun.net