Dua tahun lalu, sebenarnya teori mengenai hal ini pernah disampaikan oleh Kiai Abdul Qoyyum Manshur dalam salah satu rangkaian 7 hari wafatnya beliau Kiai Nashir Fattah. Di dalam Al-Qur'an, penamaan beliau dengan akar kata nashara -disengaja atau tidak- ternyata berdampaingan dengan akar kata fataha, yakni nama dari ayahanda beliau sendiri, Kiai Fattah Hasyim, bahkan sebanyak dua kali. Kedua ayat ini kebetulan berbicara mengenai hal yang sama yaitu penaklukan atas kota Mekkah yang saat itu masih dikuasai oleh orang-orang kafir. Di samping menjadi kemukjizatan Al-Qur'an dalam hal terjadinya sesuatu di masa depan, kedua ayat ini ingin membangun semangat yang sama, yakni optimisme meraih kemenangan.
Ayat yang pertama adalah:
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ (النصر:١)
Artinya: "Jika telah datang pertolongan (dari) Allah Swt. dan kemenangan"
Ayat yang kedua adalah:
…نَصْرٌ مِنَ اللهِ وَفَتْحٌ قَرِيْبٌ…(الصف:١٣)
Artinya: "....pertolongan dari Allah Swt. dan kemenangan yang dekat...."
Dalam surat As-Shaff di atas, kiranya perlu direnungkan bersama bahwa ayat-ayat sebelum ayat 13 ini, tepatnya mulai ayat 10 isinya berbicara tentang ajakan Allah Swt. kepada orang-orang beriman untuk melakukan 'perniagaan' dengan-Nya demi untuk menyelamatkan diri dari siksa yang pedih. Ibnu Sina pernah mengklasifikasikan hubungan hamba dengan Tuhan menjadi tiga perumpamaan, yakni:
Bagaikan hubungan budak dengan majikannya. Seorang budak akan mencurahkan tenaganya demi untuk mencari keuntungan yang diperoleh dari majikannya atau paling tidak agar terhindar dari kemarahan majikannya. Hubungan antar keduanya belum bisa dikatakan hubungan yang intim, atau bahkan masih terbuka peluang-peluang kenakalan budak karena ia cenderung melaksanakan pekerjaannya hanya ketika tampil di hadapan majikan.
Bagaikan hubungan penjual dengan pembelinya. Perniagaan yang baik lahir dari perniagaan yang memuaskan antara penjual dan pembeli, dan apabila memang yang ia cari adalah keuntungan pastilah ia harus visioner memberdayakan modal yang sedikit agar menjadi keuntungan yang berlipat ganda. Hubungan perniagaan ini apabila terus dijaga dengan baik maka ia akan naik kelas dari hubungan yang pertama, namun sayangnya ia masih bersifat transaksional.
Bagaikan hubungan seorang ibu dengan anaknya. Ibu yang penuh kasih tentu akan memberikan segalanya demi kebahagiaan sang anak, ia akan tanpa pamrih melakukan hal tersebut karena yang menjadi fokusnya adalah hanya sang anak. Ibu yang penuh rasa sayang ini sekalipun tidak pernah terpikirkan untuk menuntut balasan apapun dari anak. Inilah puncak hubungan hamba dengan Tuhan yang mana ia hanya mencari ridho-Nya belaka.
Betapapun, ketiga perumpamaan ini sudah dinilai baik oleh Allah Swt. dalam proses pendekatan diri kepada-Nya. Namun secara spesifik, hubungan perniagaan oleh Allah Swt. ini termasuk yang paling sering disampaikan dalam berbagai ayatnya melalui beberapa term seperti qardh (kredit), rahn (gadai), bai' (jual beli) dan sebagainya. Setidaknya ada dua alasan yang dapat penulis kemukakan terkait hal ini. Pertama, guna menyesuaikan lawan bicara yakni bangsa Arab yang notabene saat itu mayoritas berprofesi di bidang perniagaan. Allah Swt. menghendaki deskripsi hubungan ini menjadi mudah dipahami dan terjangkau oleh akal sehingga diharapkan dengan menggunakan bahasa-bahasa perniagaan, hal tersebut dapat terealisasi dengan baik. Kedua, bahwa Al-Qur'an ingin menempatkan kita dalam posisi yang optimal, dimana kebanyakan dari kita baru sampai di tingkatan hubungan perniagaan ini ketika menjalin hubungan dekat dengan Allah Swt. Yang baru sampai tingkatan hubungan budak-majikan termotivasi untuk meningkatkan kualitas diri dan yang sudah mencapai tingkatan hubungan ibu-anak akan merasa terafiliasi karena ia sudah beranjak dari tingkatan sebelumnya.
Selanjutnya pada ayat 11, dijelaskan tentang cara berniaga dengan Allah Swt. adalah dengan ’menawarkan’ beberapa hal yang harus kita miliki untuk kemudian diusahakan semaksimal mungkin menjadi sebuah ’keuntungan’ yang besar, disebutkan beberapa hal tersebut adalah iman kepada Allah, iman kepada Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya, baik dengan totalitas diri maupun harta. Kata anfus dalam ayat ini bukan hanya berarti jiwa, tetapi lebih dari itu ia adalah totalitas dalam diri kita, bisa berupa pikiran, tenaga, ilmu dan sebagainya yang kesemuanya masih dalam lingkaran universal diri kita.
Pada ayat 12, Allah Swt. lalu ’memberikan keuntungan’ besar atas hasil tawaran kita dalam berniaga dengan-Nya tersebut, yakni berupa ampunan atas dosa, aliran sungai surgawi dan tempat-tempat terbaik dalam naungan 'Adn. Lebih dari itu, di ayat selanjutnya Allah Swt. kemudian memberikan kabar gembira-Nya bahwa ada hal lain dan itu pasti sangat kita cintai dan idam-idamkan yakni pertolongan dari Allah Swt. (nashrun min Allah) dan kemenangan yang dekat (fathun qariib). Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa pertolongan dari Allah Swt. menunjukkan keluasan rahmat-Nya, bayangkan saja semisal kita yang dilanda kesusahan lalu tiba-tiba datang bantuan dari manusia, senangnya sudah bukan kepalang, apalagi yang datang ini adalah pertolongan langsung dari Allah Swt. Kemenangan yang dekat diartikan bahwa kemenangan dunia yang fana ini tidak akan lama karena ia akan disusul dengan kemenangan sejati di akhirat kelak.
Dalam momen haul ini, penulis hanya mencoba sedikit menyalakan api optimisme meraih kemenangan ilmu yang sudah susah payah dibangun oleh beliau Kiai Nashir dan kiai-kiai terdahulu. Beliau sering mengutarakan bahwa ismun (teks) itu tidak terlalu penting, yang paling penting justru adalah musamman (substansi). Bayangkan, untuk nama beliau sendiri saja jika ia dicarikan argumentasi akademik dengan sungguh-sungguh maka dibutuhkan telaah yang mendalam dalam beberapa bidang ilmu, itu pun masih dalam tahap ketidaksempurnaan. Kebanggaan pada almamater memang dapat melahirkan mobilitas luar biasa dalam sebuah pergerakan, tapi ia sedikit sekali dapat melahirkan ilmu pengetahuan baru yang mampu menjawab problema masyarakat. Jalan pencarian ilmu ini memang sunyi, senyap, membosankan dan cenderung tidak menonjolkan diri sebagaimana sebuah perhelatan megahnya sebuah acara. Namun percayalah, jika ia ditekuni dan diresapi dengan hati yang tulus maka ia akan berdampak menembus lapisan duniawi dan menjangkau kebaikan-kebaikan yang terus mengalir di akhirat. Perjuangan untuk memunculkan penerus Kiai Nashir dan kiai-kiai lainnya akan terus menemui jalan buntu jika ia hanya berhenti pada kekaguman atas sosok dan figur, bukan pada ilmu dan value yang telah dipupuk sekian lama. Semoga menjadi pengingat, khususnya bagi penulis sendiri.
Penulis : Robi Pebrian