Almarhum almaghfurlah KH Abdul Djalil (Kepala Madrasah Muallimin Muallimat Bahrul Ulum ke-6), ketika disowani santri-santrinya (murid-muridnya) sekitar tahun1990-an, selalu membacakan (sebagai bentuk nasehat) satu bait syi’ir yang sebenarnya tidak asing bagi kalangan santri yang pernah mengaji kitab Ta’limul Muta’allim karya Syekh Azzarnuji. Syi’ir tersebut berbunyi bijiddin la bijaddin kullu majdin fahal jaddun bila jiddin bimajdin.
Kiyai Djalil menterjemahkan syiir tersebut: Hanya sebab kesungguhanmu-lah, bukan sebab mbahmu, pondokmu, maupun sekolahmu, sebuah keagungan akan di raih. Apakah kalau mbahmu kiai,pondokmu besar, sekolahmu favorit tanpa sebuah kesungguhan, dirimu akan meraih keagungan?.
Seakan tanpa putus asa, Kiyai Djalil selalu memberikan motivasi kepada semua santri/murid-muridnya tanpa pandang bulu. Baik murid yang masih aktif belajar, maupun murid yang sudah menjadi guru.
Dari sisi kedisiplinan, Kiyai Djalil selalu tepat waktu, baik ketika mengajar maupun sholat berjamaah (sepengetahuan penulis). Kalau penulis boleh menilai, kekeramatan terbesar beliau adalah istiqomahnya dan kedisplinannya.
Beliau juga dikenal dari kesederhanaan-nya. Pernah suatu ketika beliau ditengah-tengah mengajar seakan sambil bercanda-mengatakan, “bojo ayu elek, rasane podo ae, lek pas lampu dipateni” (istri cantik jelek, rasanya sama saja, jika lampunya dimatikan), dan juga pernah mengatakan, “Pakean apik elek podo ae ayang-ayange” (pakaian baik jelek sama saja bayang-bayangnya). Artinya, semua sama saja substansinya. Yang luar hanyalah sebagai aksesoris saja. Dari sudut pandang inilah, maka hidup sederhana bisa dilakukan. Dari situ juga beliau lebih mengutamakan isi dari pada penampilan.
Dalam melakukan pendidikan dan pengajaran, beliau selalu memberi contoh (uswah). Selagi beliau mampu dalam menjalankan aktivitas sendiri, beliau tidak pernah minta pertolongan bahkan kepada muridnya sekalipun.
Pernah suatu ketika, saat beliau sakit, sehingga kurang mampu berjalan sendiri, ada seorang murid berkehendak mau menuntun beliau untuk menuju ruang kelas. Saat itu, beliau enggan untuk dituntun. Beliau lebih memilih untuk berjalan sendiri meskipun sambil berpegangan pada dinding.
Beliau juga guru yang sangat teliti dan adil kepada murid-muridnya. Pernah suatu ketika waktu ulangan pelajaran ilmu falak, penulis kebetulan dapat nilai seratus. Lantas beliau menyuruh penulis untuk mengerjakan di papan tulis dengan pekerjaan yang lain. Saat ada kesalahan saat mengerjakan di papan tulis, beliau langsung meralat nilai seratus hasil ulangan penulis sambil mengatakan, “nilainya gak jadi seratus wong kerjaanya salah”. Melihat hal ini betapa kepedulian beliau akan kemampuan siswanya. Beliau tidak ingin murid-muridnya hanya mengandalkan nilai tanpa kemampuan yang sesungguhnya.