Penulis niatkan membagikan tulisan ini untuk turut serta 'nadong' barokah Kiai Jamal yang haulnya akan dilaksanakan nanti malam. Penulis beberapa kali bermulazamah dengan Kiai Jamal. Pernah waktu penulis menjadi panitia haflah, ditugasi untuk mengantarkan surat permohonan pembacaan tahlil dan doa kepada beliau. Saat itu, Kiai Jamal mengeluarkan 'uneg-uneg'-nya bahwa acara semacam tahlil dan doa harusnya menjadi acara utama dalam setiap haul masyayikh karena substansi acaranya memang mendoakan para kiai yang telah mendahului kita. Menurut beliau sudah selayaknya seperti itu.
Kiai Jamal juga termasuk kiai yang turut dimintai restu dan pendapatnya oleh mertua penulis menjelang penulis menikah. Keadaan dimana antara wali nikah dan calon mempelai laki-laki yang berjauhan mengharuskan wali nikah mewakilkannya pada orang lain yang berdekatan. Saat itu, mertua penulis mewakilkannya pada salah satu kiai di daerah penulis melalui sambungan telepon. Karena ragu-ragu perihal keabsahan akad nikah, penulis menanyakan lagi perihal hukumnya kepada beliau. Beliau menjawab tegas bahwa akadnya sudah sah dan tidak perlu diulang lagi, begitu pun jawaban Kiai Nashir saat penulis menanyakan hal yang sama.
Tentu saja mulazamah yang paling intens adalah ketika penulis mondok, khususnya waktu bulan Ramadhan, biasaya beliau membaca kitab Dalail Al-Khoirot dan Matan Al-Hikam. Juga waktu belajar di madrasah, Kiai Jamal saat itu mengajar mapel tasawuf di kelas 6, biasanya beliau membuka kelasnya di aula Pondok Pesantren Al-Amanah dengan diikuti sekian siswa yang dengan riang gembira keluar dari gerbang madrasah menuju tempat yang berada di depannya.
Dalam salah satu pengajiannya, pernah dalam satu bacaan, yakni:
أستغفر الله العظيم الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه
Kiai Jamal secara khusus memberikan keterangan tentang lafazh الحي. Sebagian dari kita ada yang melafalkan istighfar tadi dengan bacaan "al-hayyu" (dengan i'rob rofa') karena sudah terbiasa membaca Ayat Kursi yang awalan ayatnya juga dibaca dengan "al-hayyu".
Kiai Jamal mencoba memberi pengertian kepada audiensnya bahwa bacaan wirid pun harus benar pengucapannya, tidak 'ujug-ujug' yang penting niatnya dan yang penting Allah menerima. Pelan-pelan, beliau menjelaskan bahwa dalam istighfar tersebut, lafalnya harus dibaca dengan "al-hayya", beliau memulai penjelasnya sejak lafal "Allah" yang disana jelas sekali ia berstatus menjadi maf'ul bih yang notabene beri'rob nashob, sehingga otomatis lafal "al-'azhiim" pun juga harus beri'rob nashob karena menjadi na'at dari lafal "Allah". Lanjutannya yakni lafal "alladzi laa ilaaha illa huwa" pun sama, ia juga harus beri'rob nashob dalam kategori mahalli karena ia termasuk dalam jenis na'at jumlah.
Sampai tahap ini, penulis semakin yakin bahwa keilmuan seseorang yang begitu dicintai oleh santri dan masyarakat seperti Kiai Jamal, pasti telah melalui tahapan-tahapan yang runtut sebelum mencapai puncak karirnya. Hemat penulis, turut serta menyaksikan Kiai Jamal menerangkan ilmu alat seperti cerita di atas sensasinya sama persis seperti saat penulis menyaksikan Kiai Nashir menerangkan ilmu tasawuf dengan keterangannya khasnya. Semacam kebanggaan yang tak tergambarkan karena memiliki guru-guru yang luar biasa. Walaupun penulis secara formal bermukim di ribath yang berbeda, penulis selalu berharap dimasukkan dalam golongan Al-Muhibbin, yakni golongan yang mencintai beliau, mencintai ilmu seperti beliau dan mengamalkannya seperti beliau. Aamiin.
Robi Pebrian