Muallimin Online,
Sudah setengah bulan ini, bahkan lebih, saya tidak lagi bersalaman dan cium tangan Kiyai Nashir. KH Abdul Nashir Fattah. Padahal setiap kali bertemu, saya berharap bisa mendapatkan keberkahannya dengan bersalaman dan cium tangan.
Makanya, terkadang sedih, saat bertemu beliau tapi tidak bisa bersalaman dan cium tangan. Tapi apa daya. Kebiasaan bersalaman dengan mencium tangan ahlul ilmi, ahlul ibadah, minal mukhlisin untuk mencari keberkahan harus ditahan, dan harus dijauhi. Bahkan bicara dengan beliaupun harus dengan jarak. Ini terkesan su'ul adab. Tata krama yang sangat tidak dianjurkan dalam pergaulan antara guru dan murid.
Kesedihan tersebut harus ditahan dalam hati yang dalam, dan kadang juga dibumbui rasa bersalah dan berdosa, karena merasa tidak lagi menghormati seorang guru, yang selama ini menjaga dan membimbing ruh kita dalam menapaki jalan kehidupan.
Bahkan untuk bertemu beliau-pun harus ditahan dalam jangka lama, dengan posisi yang berjauhan. Padahal pinginnya bisa bicara dalam jangka lama, dengan posisi sedekat mungkin.
Tapi, sekali lagi, apa mau dikata. Kondisi saat ini, dimana pemerintah Republik Indonesia menganjurkan, agar kita di rumah saja, menghindari jabat tangan, dan kalau bertemu dengan orang lain harus menjaga jarak minimal 1 meter. Anjuran pemerintah ini untuk mencegah penyebaran Covid-19. Virus yang penyebarannya terjadi secara cepat, dan sudah menyebar hampir di semua negara di dunia. Sehingga WHO menetapkan sebagai pandemi.
Menurut pemerintah juga, orang yang sudah terpapar Covid-19 bisa tidak merasakan gejala apapun, tetapi orang tersebut bisa menjadi pembawa (carrier) untuk ditularkan kepada orang lain, dengan tanpa merasa menularkan. Sedangkan orang yang ditulari tersebut bisa memiliki gejala yang lebih parah, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Dari sinilah, saya harus menahan tidak bersalaman dan cium tangan dengan Kiyai Nashir. Karena, (naudzu billahi min dzalika) bisa saja saya menularkan virus tersebut ke Kiyai Nashir. Mungkin karena tubuh saya dalam kondisi fit, sehingga saya tidak merasakan gejala apapun sampai kemudian tubuh saya mampu melawan virus tersebut kemudian saya sembuh dengan sendirinya. Tetapi dengan bersalaman atau mencium tangan beliau, saya bisa menjadi carrier, dan menularkan kepada beliau. Artinya, dengan bersalaman, dengan alasan mencari keberkahan, justru malah bisa menulari orang yang kita jadikan wasilah dalam mencari keberkahan. Tentu, sekali lagi, ini betul-betul sangat menyedihkan bagi kita.
Perubahan perilaku seperti ini tidak saja kepada Kiyai Nashir, tetapi kepada semua guru-guru, jika bertemu dengan beliau-beliau. Tidak ada hal ini yang bergantung di hati dan pikiran, saat berperilaku seperti ini, kecuali dengan niat agar beliau tetap terjaga, tetap sehat dan terus menjadi pembimbing ruh kita.
Dari pernyataan saya ini, mungkin ada yang menyangkal, "jangan ketakutan dengan virus, sehingga menjauhkan dengan guru, dan menjahui keberkahan". Pernyataan yang kelihatan meremehkan masalah dan menjahui kewaspadaan ini justru bisa menjadi ancaman serius, yang lebih besar daripada Covid-19 sendiri. Sama dengan pernyataan, "kenapa tidak ke masjid, tidak mungkin virus masuk masjid, karena orang yang ke masjid itu dalam keadaan bersih dan suci". Bolehlah kita berfikir religius, tetapi kita tidak boleh mengenyampingkan berfikir logis dan ilmiah.
Apapun yang kita lakukan dengan mengikuti anjuran pemerintah, adalah untuk keselamatan kita semua. Keselamatan guru-guru kita. Kiyai-kiyai kita. Ibu Nyai kita, dan semua bangsa Indonesia.
Meng-Amini doa para Wali Allah, Masyayikh, para Kiyai dan guru di Pondok-pondok Pesantren, di Nahdlatul Ulama. Baik yang ada di Indonesia dan di seluruh dunia. Semoga wabah virus ini segera sirna. (ma)