Sebentar lagi kita memasuki bulan haji, bulan Dzulhijjah dalam kalender Hijriyah. Bulan penuh keberkahan dan keutamaan, terutama pada sepuluh hari pertamanya.
Di dalam bulan ini serangkaian ibadah disyari’atkan, termasuk ibadah haji. Tidak semua orang bisa melaksanakan ibadah haji meskipun secara syarat dan ketentuan sudah terpenuhi.
Adalah karena panggilan Allah seseorang mampu berangkat haji. Mbah Karto, tukang becak, asal Kecamatan Kabuh yang tahun ini berangkat menunaikan ibadah haji, adalah salah satu bukti panggilan Allah itu.
Dalam tema haji sering kali umat Islam terkesan kesulitan untuk memilah dan menempatkan status hukum yang tepat terhadap ibadah haji dan ibadah umrah.
Soal haji jelas, tidak ada permasalahan. Tapi tidak demikian dengan ibadah umrah. Banyak orang pergi ibadah umrah, bahkan saat ini biro perjalanan umrah sangat marak karena tingginya permintaan, tapi tanpa didasari dengan niatan dan pandangan yang tepat terhadap umrah itu sendiri.
Banyak diantaranya yang pergi umrah dengan dalih dari pada terlalu lama menanti daftar tunggu haji, sebagian yang lain melukukannya karena tujuan berwisata dan lain sebagainya.
Haji dan umrah adalah dua ibadah yang berbeda. Al Quran menyebut Wa’atimmul hajja wal umrata lillah(Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. – QS 2: 196).
Dalam terminologi ilmu fiqh, keduanya adalah ibadah yang mustaqillah. Maksudnya, masing-masing berdiri sendiri, memiliki status hukum tersendiri.
Para ulama berbeda pandangan soal hukum umrah. Untuk kajian lebih jauh bisa dilihat dalam kitab-kitabfiqh muqaran (perbandingan ilmu fiqh) seperti kitab Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil Aimmah, Al Mizanul Kubra, atau yang lebih lengkap kitab Al Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah. Intinya, ada dua pandangan soal hukum umrah.
Pertama, Madzhab Maliki dan Hanafi. Madzhab ini berpandangan umrah adalah ibadah sunnah muakkadah(Tuntunan yang sangat dianjurkan).
Selama hidup hanya dilakukan sekali. Pandangan ini didasarkan pada sebuah riwayat hadits, diantarnya diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. “Baginda Rasulullah SAW ditanya tentang umrah, apakah umrah itu wajib? Beliau menjawab: Tidak wajib, dan (jika) kamu melakukan umrah maka itu lebih utama”.
Kedua, Madzhab Syafi’i dan Hambali. Keduanya berpandangan bahwa umrah adalah ibadah wajib. Banyak riwayat hadist yang menceritakan pertanyaan Aisyah kepada nabi.
“Wahai Rasulullah SAW, apakah wanita (sebagaimana lelaki) juga wajib berjihad? Beliau menjawab; Iya. Dia wajib berjihad tanpa ada peperangan di dalamnya, yaitu (berjihad dengan) haji dan umrah.
Lepas dari kontroversi perbedaan hukum umrah, yang perlu ditegaskan adalah -seperti sudah disebut di atas- haji dan umrah adalah dua ibadah yang berbeda. Keduanya mustaqillah. Hanya cara pelaksanaannya saja yang boleh dilakukan secara bersamaan.
Bagi yang mengikuti madzhab Maliki dan Hanafi relatif tidak ada masalah soal umrah ini. Tentu saja tetap dengan syarat man istatha’tum ilaihi sabila, mampu menjalani.
Tapi lain halnya dengan para pengikut madzab Syafi’i dan Hambali. Terutama di Indonesia, mereka akan dihadapkan pada persoalan teknis yang sangat dilematis.
Bagi yang berduit barangkali tidak ada hambatan. Mereka bisa daftar haji, dan sambil menunggu waktu keberangkatan mereka bisa berumrah. Dua kewajiban bisa terpenuhi. Tapi bagi yang berkantong pas-pasan akan berbeda. Mereka harus memilih, melaksanakan ibadah umrah bersamaan dengan ibadah haji, dengan daftar tunggu yang bertahun-tahun itu, ataukah menjalankan ibadah umrah terlebih dahulu dengan resiko tidak mampu mendaftar haji. Karena toh keduanya sama-sama wajib, maka mana yang harus didahulukan?
Wallahu A’lam
*) Rais Syuriah PCNU Jombang dan anggota dewan pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas Jombang.
Sumber: JombangTimes