Oleh: Abdur Rouf Hasbullah (Guru Madrasah Muallimin Muallimat)
Rukun Islam bukan hanya sebuah ritual ibadah semata, akan tetapi dalam rukun Islam mengajarkan sebuah nilai ketaatan yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim. Kita tahu bahwa dalam tradisi pesantren sering kita melihat fenomena santri merunduk ketika guru atau kiai lewat, termasuk juga adanya santri abdi ndalem yang siap menerima tugas apapun dari sang Kiai.
Budaya seperti ini merupakan ciri khas sebuah Pendidikan Islam, termasuk di Madrasah Muallimin Muallimat yang mana sering kita menyaksikan murid-murid di MMA akan berdiri dengan merunduk setiap ada guru yang lewat, meskipun mereka belum pernah diajar oleh guru tersebut. Dan pemandangan ini sangat jarang kita dapatkan di Lembaga Pendidikan yang lain.
Lantas bagaimana kita memaknai rukun Islam sebagai simbol ketaatan murid terhadap gurunya? Pertama: syahadat, yakni Mengakui adanya Allah swt. Sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib kita sembah. Berarti kita sebagai umat Islam wajib mengikuti segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan mengakui bahwa Nabi Muhammad saw adalah Rasulullah, utusan-Nya yang mulia.
Berarti meyakini bahwa, ajaran yang dibawa beliau memang diturunkan oleh Allah swt. Bukan sekadar karangan atau bualan kosong Nabi Muhammad saw. Dan apabila kita maknai sebagai murid MMA, maka keyakinan kita sebagai murid kepada gurunya merupakan modal awal yang penting yang menunjukkan kesiapan kita tidak hanya menerima ilmu semata akan tetapi lebih dari itu, yakni kesiapan melaksanakan perintah dari sang Guru.
Kedua, nilai Ketaatan kita sebagai murid juga ditunjukkan dengan empat posisi dalam sholat yakni dengan berdiri, rukuk, duduk tasyahud dan sujud. Tradisi berdiri sambil menundukkan kepala sebagai penghormatan kepada guru ketika berjalan. Posisi badan membungkuk (rukuk) sebagai simbol bagaimana kita menghormati orang yang lebih tua ketika dipanggil atau mendapatkan perintah dan juga ketika kita memberikan sesuatu. Bahkan kalau di Jepang, membungkuk merupakan tradisi salam pada orang lain, atau untuk menunjukkan rasa terima kasih. Tradisi ini di Jepang terkenal dengan “Ojigi”.
Selanjutnya, simbol duduk tasyahud sebagai simbol ketaatan murid ketika sowan dihadapan Kiai. Biasanya murid laki-laki duduk tasyahud awal, murid perempuan duduk tasyahud akhir. Jarang sekali kita melihat santri duduk sila dihadapan Kiai. Dan terakhir, posisi sujud sebagai simbol ketaatan dan pengabdian totalitas untuk melakukan segala yang telah diperintahkan oleh Kiai. Keempat posisi ini menunjukkan simbol ketaatan seseorang yang dapat dilihat dari segi fisik.
Ketiga, simbol ketaatan melalui puasa yang tidak hanya menahan lapar dan dahaga. Akan tetapi puasa pada intinya menjaga lisan dengan baik, artinya ketika kita sowan dihadapan guru, sepatutnya kita tidak memulai pembicaraan terlebih dahulu dengan menunggu pembuka dan petuah dari guru. memang sebaiknya dihadapan guru, kita tidak perlu banyak bicara, apalagi membantah maupun protes. Ini merupakan tradisi yang ada di pesantren yang juga dipraktikkan murid-murid di MMA.
Keempat, simbol ketaatan dalam zakat. Kita tahu bahwa zakat memberikan pelajaran kepada kita bahwa harta yang kita miliki sejatinya ada hak orang lain. Dari sinilah kita diperintahkan untuk mengeluarkan zakat atau sedekah. Artinya sebagai manusia sekaligus makhluq sosial kita punya kewajiban membantu orang lain. Intinya simbol zakat merupakan simbol ketaatan kita menjalankan perintah-Nya yang memang semestinya itu adalah tugas kita sebagai makhluk sosial. Sama halnya sebagai murid yang disuruh mengerjakan tugas di kelas, maka seorang murid wajib mengerjakannya karena memang itu tugas seorang murid. Sebagaimana juga pendidik dan tenaga kependidikan yang mengerjakan tugasnya masing-masing sesuai tupoksi yang diberikan.
Kelima, simbol ketaatan dalam haji. Kita tahu bahwa Ibadah haji merupakan ibadah umat Islam yang biasanya disertai dengan beberapa rangkaian yakni mengenakan ihram, wukuf, thawaf, sa’i, tahallul, termasuk juga rangkaian melempar Jumrah, bermalam di Mina, Muzdalifah dan mengunjungi Madinah. Yang kita maknai bahwa ibadah itu tidak hanya sembahyang, disana kita disuruh lari-lari, jalan-jalan, lempar-lempar dan seterusnya yang kelihatannya seperti prilaku anak kecil.
Akan tetapi justru makna rangkaian haji yang diakukan diatas menunjukkan bahwa kita sebagai hamba-Nya wajib menjalankan perintah-Nya. Sehingga kita sebagai murid harus siap untuk melakukan apapun yang diperintahkan oleh guru meskipun itu bukan tupoksi kita. Sebagaimana santri disuruh membelikan makanan sama gurunya, seorang murid yang disuruh gurunya untuk mengantarkan surat, sebagai satpam atau tata usaha misalnya yang disuruh buatin Kopi oleh pimpinannya, padahal itu mestinya itu bukan tugasnya.
Bahkan jika kita ingat pernyataan almarhum Gusdur ketika diwawancarai di Kick Andy, beliau berkata bahwa “saya itu diperintah oleh lima orang sesepuh saya, itu mereka memerintahkan apa saja misal masuk api, masuk api, tanpa berpikir, karena saya dididik di pesantren untuk nurut orang tua”. Ini artinya kita harus totalitas dan ikhlas mengerjakan apapun tugas yang diberikan oleh guru.
Dari sini, kita bisa pahami ibrah yang bisa kita ambil adalah bahwa perintah-Nya ada yang wajib untuk dilakukan, dan ada yang berhukum sunnah seperti sholat tahajud, puasa senin kamis, sedekah dan umroh. Artinya hamba yang taat itu tidak hanya cukup menyakini adanya Allah Swt dan Rasul-Nya, dan melaksanakan perintah-Nya yang wajib saja. Justru dengan melaksanakan perintah yang sunnah merupakan sebuah kesempurnaan ketaaatan bagi seorang hamba.
Maka perlu kita sadari bahwa sebagai guru agar melihat sejauhmana ketaatan seorang murid. Tidak hanya melihat dari simbol fisik semata. Karena saat ini, banyak murid yang ketika diperintah oleh guru, terlihat merunduk dan berkata “inggeh”. Tapi di belakang si murid menggerutu bahkan tidak ada usaha untuk mengerjakannya dengan baik. Padahal itu adalah tugas yang memang seharusnya dikerjakan oleh murid itu sendiri, apalagi itu bukan tugas yang wajib.
Jadi, sebuah keharusan kita sebagai murid di MMA untuk melestarikan tradisi dan budaya ketaatan kepada guru. Karena di MMA tidak hanya mengajarkan ilmu, akan tetapi juga mengajarkan adab atau etika. Bahkan dalam maqolahnya al-Adabu fauqo al-ilmi (adab diatas ilmu). Maka pada akhirnya Ketaatanlah yang mengantarkan murid pada sebuah titik keberkahan dan kebahagiaan.
Editor: ma