Hari raya Idul Adha atau biasa dikenal dengan hari raya kurban, Idul Akbar atau lebaran haji, pada tahun 2023 M / 1444 H ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Karena saat ini pemerintah sudah mencabut status Pandemi di Indonesia. Pandemi yang melanda hampir di seluruh negara belahan dunia.
Hari raya kurban biasa kita peringati tiap tahun dengan melakukan Shalat berjamaah di Masjid atau di lapangan, kemudian dilanjutkan dengan pemotongan hewan qurban.
Secara historis, praktek kurban pertama kali dilakukan oleh kedua anak Nabi Adam seperti yang diceritakan di dalam Alquran, yaitu Habil dan Qabil. Allah memerintahkan mereka berdua untuk memberi persembahan terbaik.
Qabil sebagai seorang petani memberikan hasil panen yang buruk. Ia pamrih dan hanya ingin hasil yang instan tanpa meningkatkan ketakwaan pada dirinya. Sementara, Qabil seorang pengembala, mempersembahkan domba jantan spesial, lalu pasrah terhadap keputusan Allah. Finalnya, Allah menerima kurban Qabil, sementara kurban Habil ditolak.
Di dalam tafsir Ibnu Abbas, Allah memelihara domba persembahan dari Qabil di surga, untuk diturunkan kembali menggantikan Nabi Ismail saat ayahnya hendak menyembelihnya. Tak lama setelah peristiwa penyembelihan tesebut, Allah menurunkan wahyu perintah berkurban di zaman Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim yang bermimpi untuk mengorbankan anaknya, Nabi Ismail.
Kisah ini popular dan tercatat dalam tiga agama sawami (Taurat kitab suci agama Yahudi, Injil kitab suci Nasrani dan Alquran kitab suci agama Islam) dan menjadi praktek ibadah yang sampai saat ini terus dilakukan sebagai bagian dari ajaran syari’at Islam.
Ritual kurban sendiri mempunyai akar sejarah yang panjang dalam kisah umat manusia. Peradaban kuno dari wilayah timur tengah di Mesopotamia dan Mesir, hingga wilayah benua Amerika yang dihuni oleh suku Aztec dan suku Maya, memiliki tradisi untuk mengorbankan sebagai suatu persembahan kepada Tuhan. Suku Aztec memiliki tradisi untuk mengorbankan manusia setiap tahun untuk dipersembahkan kepada dewa matahari. Orang-orang Mesir menghanyutkan perempuan perawan di sungai Nil untuk memohon kepada dewa-dewi Mesir agar air sungainya selalu melimpah. Tradisi Suku Tengger di lereng gunung Bromo melakukan Yadnya Kasada, upacara yang dilakukan oleh suami istri untuk mengorbankan anaknya dengan cara dilarung ke dalam kawah Bromo.
Jika dilihat secara sepintas, ritual kurban memiliki sejarah yang erat dengan pertumpahan darah dan konflik antar manusia. Bagi sebagian orang, penjagalan besar-besaran terhadap manusia maupun hewan ternak adalah cermin dari naluri manusia untuk menyalurkan sifat-sifat kekerasan dan kejahatan yang ada di dalam dirinya.
Pandangan ini bisa saja benar, bisa juga salah. Al Quran menarasikan ritual qurban sebagai sarana hamba untuk belajar mendekatkan diri kepada Allah SWT, sesuai dengan akar katanya “qaraba” “yaqrabu” yang berarti “dekat” atau “mendekatkan”. Dalam kisah qurban yang dilakukan oleh nabi Ibrahim, sosiolog revolusioner Iran, Ali Syariati (w.1977) memiliki perspektif menarik dalam menggali makna dari peristiwa tersebut. Menurutnya, “Ismail” dalam kisah tersebut tidak hanya dapat dimaknai sebagai sosok anak dari nabi Ibrahim, akan tetapi ia merupakan simbol dari dorongan nafsu dan ego yang menghalangi manusia untuk mendekat kepada tuhan-Nya. Oleh sebab itu, kurban berarti kita berusaha menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi upaya mendekatkan diri kita pada Allah SWT. Penghalang mendekatkan itu adalah sesuatu dalam berbagai bentuknya, seperti ego, nafsu, cinta kekuasaan, cinta harta-benda dan lain-lainnya secara berlebihan.
Dalam konteks umat beragama di Indonesia, ibadah kurban dengan memotong hewan kurban memiliki “value” tidak hanya sekedar “mempersembahkan” sesuatu kepada Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal “hablum minan al-nas”, bahkan kurban tersebut memiliki nilai relasi sosial yang tinggi yang sudah berlangsung ber-abad-abad lamanya.
Sebagai bentuk membangun relasi sosial ekonomi, kita bisa melihat ke pedagang hewan kurban, dimana saat hari raya Idul Adha adalah salah satu yang mendapatkan rezeki besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menjelang puasa bulan Maret 2023, jika Indonesia mengimpor sapi hidup sebanyak 7,8 juta kilogram yang berasal dari Australia, Brazil, India, Amerika dan Jepang, maka berdasarkan data yang disampaikan Kementerian Pertanian, kebutuhan hewan ternak untuk kurban mencapai 1,72 juta ekor. Bahkan, Institute for Demograpic and Povety Studies menyebut potensi ekonomi kurban mencapai Rp.24,3 triliun dari 2,17 juta orang yang melaksanakan kurban. Tahun ini diprediksi akan meningkat, karena kondisi ekonomi masyarakat pasca pandemi telah pulih seperti sedia kala. Ini bentuk bagaimana kurban bisa membangun relasi sosial ekonomi.
Sementara secara sosial, jika kita berbicara kurban di Indonesia, rasanya kurang lengkap jika tidak menelusuri sejarah kurban di Kudus Jawa Tengah. Sunan Kudus, ulama penyebar agama Islam yang hidup pada abad ke-15 memberikan ‘fatwa’ yang unik yaitu menghindari menyembelih sapi pada hari raya Idul Adha. Hal ini dilakukan untuk menghormati umat agama hindu. Kebijakan yang diambil oleh Sunan Kudus untuk menjaga relasi sosial masyarakat, hidup rukun berdampingan antar umat beragama. Bentuk toleransi yang nyata ini diaplikasikan oleh Sunan Kudus sehingga umat Islam dan Hindu saling memahami perbedaan. Bukankah ini bentuk Islam Rahmatal lil Alamin?
Ini juga sebagai nilai moral universal Islam sudah pasti harus menghindari pilihan syariat yang berpotensi merobek sendi-sendi keharmonisan antar umat beragama. Islam tidak pernah mengabaikan relasi dan realitas kehidupan sosial di sekitar lingkungannya. Wallahua’lam
Penulis: H. Muhyidin, Lc., MM. (Guru Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun)
Editor: ma
Kredit photo: liputan6.com