Pada kesempatan riyayan (silaturrahim hari raya Idul Fitri) di ndalem KH Abdul Nashir Fattah, salah satu tamu yang datang dari wilayah utara Jombang, bercerita tentang kondisi sebuah desa di wilayah utara Jombang. Di desa tersebut, meskipun masyarakatnya sebagaian besar adalah beragama Islam, meskipun bukan penganut Islam taat, banyak sekali anjing yang dipelihara masyarakat sebagai hewan peliharaan dan untuk menjaga dan turut bercocok tanam di kebun dan hutan.
Menurutnya, akhir-akhir ini banyak masyarakat yang memelihara anjing tidak lagi bertujuan sebagai peliharaan atau sebagai penjaga, tetapi dipelihara untuk dibudidaya dan diperjual belikan. Hal ini karena anjing memiliki nilai jual yang cukup baik.
Padahal, menurutnya anjing adalah hewan yang najis. "Apakah kita beli saja Yai anjing-anjing itu, dan kita bunuh semua", tanyanya kepada Kiai Nashir.
Dengan kalem Kiai Nashir bercerita, "anjing itu hewan yang bisa hidup dimana-mana. Jangankan di sini, di Mekkah saja banyak anjing yang berkeliaran. Bahkan di wilayah sekitar Masjidil Haram banyak anjing yang berkeliaran".
Lebih lanjut Kiai Nashir menyampaikan bahwa, masalah kenajisan anjing ini adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat). Ada yang mengatakan najis berat yang menyucikannya dengan dibilas air tujuh kali dan debu. Namun, ada juga yang mengatakan tidak najis secara keseluruhan. Hanya liurnya saja. Bahkan ada yang mengatakan tidak najis. Kita bisa mengambil pendapat dari beberapa pendapat tersebut.
Jika kita berpendapat bahwa, anjing itu najis berat, dan berdakwah ke masyarakat dengan menggunakan pendapat ini, apakah baik jika kita langsung secara spontan membunuh seluruh anjing-anjing yang ada di desa tersebut?
Tentu hal ini tidak baik. Pertama, anjing itu meskipun dianggap najis, tetapi anjing adalah makhluk ciptaan Allah, yang tidak bisa dibunuh secara semena-mena. Jika kita berpendapat najis, maka kita hindari.
Kedua, orang yang memelihara anjing, mungkin belum memahami tentang kenajisannya, sesuai dengan yang kita yakini. Disinilah fungsinya kita sebagai juru dakwah. Bagaimana kita bisa menjelaskan kepada mereka tentang kenajisan anjing, sekaligus mencarikan solusi jika mereka tidak lagi memelihara anjing. Hal ini dilakukan secara pelan-pelan. Tidak secara instan. Memang waktu yang dibutuhkan dalam melakukan perubahan akan lama. Tetapi di situlah letak kesabaran kita dalam berdakwah, dan disitu juga letak nilai kita dalam berdakwah. (ma)