Penulis meyakini bahwa sesungguhnya memberikan point of view (sudut pandang) yang berbeda dalam memandang sebuah persoalan nantinya akan memberikan kita wawasan baru dan 'angin segar' tersendiri dalam bertoleransi pada orang lain.
Dalam ilmu tata bahasa Arab misalkan, pelafalan kita atas lafazh az-zaailah al-hayah dalam sebuah teks pada bab dibagh (menyamak) di Fath al-Qariib dengan tulisan وأريد بها الزائلة الحياة بغير ذكاة شرعية. Pertama; yang membacanya dengan az-zaailatu al-hayaatu, bukan sebagai na'at-man'ut, melainkan sebagai isim fa'il (yang beramal sebagaimana fi'ilnya) bersama dengan fa'ilnya. Bacaan ini diperbolehkan karena isim fa'il tersebut telah memenuhi syarat khusus yakni berlaku sebagai na'at yang man'ut-nya dihapus. Kedua; yang membacanya dengan az-zaailatu al-hayaati, dibaca demikian yakni dengan menduduki posisi idhafah. Awalanya memang terkesan janggal sebab mudhaf-nya (lafazh az-zaailah) masih mempertahankan al yang seharusnya wajib dibuang. Namun kalau kita telusuri literatur dengan lebih dalam, mudhaf sebagaima lafazh tersebut ternyata diperbolehkan dengan alasan mudhaf-nya menjadi sifat dan mudhaf ilaih-nya menjadi ma'mul atas mudhaf-nya. Poin pentingnya bukan pada 'mbuletisasi' nahwu yang kerap kali meneror kita, namun lebih pada pelajaran bahwa kita boleh lho berbeda namun sama-sama benar.
Hampir semua 'ulama sepakat bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah termasuk hari-hari terbaik sepanjang tahun, lebih-lebih tanggal 8 dan 9 yang di dalamnya banyak anjuran seperti berdzikir dan berpuasa. Yang paling banyak dianjurkan adalah puasa Tarwiyah dan 'Arafah. Secara kultural masa sekarang, anjuran ini sangat masif dikampanyekan melalui media sosial, disertai dengan ganjaran akan terampuninya dosa sekian tahun. Secara struktural kebijakan pun ada pengaruh nyata, penulis pernah mendengar ada sebuah institusi kerja yang tidak menyediakan konsumsi pada hari tersebut dengan tujuan agar puasa ini dapat dilakukan dengan baik oleh para pegawainya.
Permasalahan kemudian muncul pada beberapa realita yang ada di masyarakat, antara lain adalah banyaknya resepsi pernikahan yang diadakan di bulan Dzulhijjah. Begitu juga acara semisal tasyakuran keberangkatan haji yang marak dilakukan. Kebiasaan masyarakat kita dalam menghormati tamu adalah dengan bersuka cita disertai aneka suguhan makan. Dalam suasana tersebut, dapat dibayangkan betapa kecewanya tuan rumah yang sudah bersusah payah menghidangkan aneka makanan tersebut ketika tamu yang diharap kedatangannya justru menolak untuk makan karena sedang berpuasa.
Secara eksplisit, Syekh Zainudin Al-Malibari dalam kitabnya Fath al-Mu’iin menjelaskan masalah ini sebagai berikut: “Bila mempertahankan puasa memberikan kekecewaan bagi tuan rumah disunahkan makan (saat bertamu) ketika sedang berpuasa sunah meskipun puasa tersebut sunah muakkad untuk menyenangkan pemilik makanan, meskipun sudah berada di akhir waktu siang. Ia akan diberi pahala atas puasa yang telah lewat dan sunah menggantinya di hari yang lain. Namun bila mempertahankan berpuasa tidak memberikan kekecewaan bagi tuan rumah maka tidak disunahkan berbuka, bahkan lebih utama mempertahankannya.” Kesimpulan Al-Malibari ini didasarkan pada sebuah riwayat dari Imam Baihaqi yang menceritakan di mana ketika Rasulullah Saw. bertamu dengan sahabatnya yang sedang berpuasa, sang sahabat mengatakan “Saya sedang berpuasa”. Kemudian Rasulullah Saw. menegurnya dengan mengatakan “Saudaramu sesama muslim bersusah payah (menyiapkan makanan) untukmu dan kamu mengatakan sedang berpuasa? Berbukalah dan gantilah pada hari yang lain”
Penulis tidak ingin berkata bahwa puasa tidak lebih baik daripada amalan lain. Namun mari kita ubah point of view-nya, betapa agama Islam dan Nabi Muhammad Saw. yang sama-sama kita cintai ini ternyata begitu mempertimbangkan suasana psikologi seseorang sebelum memutuskan sebuah hukum. Keputusan untuk mempertahankan puasa atau berbuka tidak didasarkan pada argumentasi semacam 'Banyak jalan menuju Roma', 'Amalan wong dewe-dewe' dan sebagainya, melainkan juga mengaitkannya dengan hal lain yang sangat esensial yakni kemaslahan dan kebahagiaan orang banyak. Lalu, apabila keputusannya telah diambil maka akan selalu menghasilkan win-win solution (sama-sama ridha). Tamu yang menghendaki untuk mempertahankan puasanya tentu akan berkabar terlebih dahulu, atau minimal mencegah tuan rumah yang ingin menyuguhkannya makanan. Tamu yang menghendaki untuk berbuka pasti tahu bahwa apabila ia menyantap hidangan, tuan rumah akan senang tak terkira. Semoga bermanfaat.
Robi Pebrian