Tulisan ini memiliki irama yang sama dengan motivasi di awal Ramadhan atau bahkan sebelumnya, Nabi Saw. bersabda, ”Barang siapa yang berbahagia dengan datangnya Ramadhan maka Allah Swt mengharamkan jasadnya untuk menyentuh api neraka.” Dalam skala yang lebih luas, Allah Swt. dalam Surat Yunus ayat 58 memerintahkan untuk bersuka cita apabila itu berkaitan dengan anugerah dan rahmat-Nya. Kalau sudah menerima informasi begitu banyaknya dari akademisi dan mubaligh perihal keutamaan bulan Ramadhan, tidak elok kiranya kalau kita tidak menamai Ramadhan sebagai bulan anugerah dan rahmat. Jadi bahagia di bulan Ramadhan adalah keharusan, tidak bahagia ancamannya adalah neraka!
Dawuh-dawuh serupa sering juga kita temukan di tempat lain, ”Sungguh jangan kalian mati kecuali dalam keadaan Islam)” (Surat Ali 'Imron ayat 102). Masak kita ngepas-ngepaske hari kematian kita dalam keadaan yang kita inginkan, kan ndak bisa. Nabi Saw. bersabda ”Jangan marah!” Bagaimana sesuatu yang berada di dalam hati dapat dikendalikan lalu meminta padanya untuk tidak marah? Menahan amarah masih memungkinkan, nah kalau tidak marah ini sepertinya hampir mustahil.
Di akhir Ramadhan seperti hari-hari ini pun muncul motivasi serupa, bahkan bisa dikatakan lebih rumit. Ada sebuah hadits, Nabi Saw. bersabda “Ketika tiba akhir malam Ramadhan, langit, bumi dan malaikat menangis karena adanya musibah yang menimpa umat Nabi Muhammad saw.” Sahabat lalu bertanya, “Musibah apakah wahai Rasulullah?” Nabi Saw. menjawab, “Berpisah dengan bulan Ramadhan, sebab pada bulan ini doa dikabulkan dan sedekah diterima. Kebaikan dilipatgandakan dan siksa dihentikan.” Hadits ini kemudian kerap digunakan untuk memotivasi kita untuk memiliki rasa sedih dan prihatin karena kesempatan emas Ramadhan sebagaimana yang dikatakan Nabi Saw. sudah terhenti.
Kerumitannya adalah karena ketika masuk hari raya ’Idul Fitri juga terdapat hadits tentang anjuran untuk memperlihatkan ekspresi bahagia. Sahabat Anas, berkata, ”Sekali waktu Nabi Saw. datang di Madinah, di sana penduduknya sedang bersuka ria selama dua hari”. Lalu Nabi Saw. bertanya, ”Hari apakah ini (sehingga penduduk Madinah bersuka ria)?” Mereka menjawab, ”Dulu semasa zaman jahiliyah pada dua hari ini kami selalu bersuka ria.” Kemudian Nabi Saw. bersabda, ”Sesungguhnya Allah Swt. telah menggantikannya dalam Islam dengan dua hari yang lebih baik dan lebih mulia, yaitu hari raya kurban (’Idul Adha) dan hari raya fitri (’Idul Fitri).”
Bagaimana bagi kita menggabungkan dua emosi sekaligus dalam waktu yang bersamaan? Sedih ditinggal Ramadhan dan bergembira menyambut ’Idul Fitri. Dalam bahasa Inggris, istilah yang dipakai untuk perasaan campur aduk semacam ini dinamakan dengan bittersweet. Dalam bahasa Indonesia secara leterlek bisa disebut sebagai perasaan pahit manis. Perasaan ini seolah menggambarkan ending yang mengandung kebahagiaan dan kesedihan pada saat yang sama. Ending yang tidak sepenuhnya bahagia, tetapi juga tidak sepenuhnya sedih. Perasaan ini juga terkadang hadir tanpa kita sadari, misalkan ketika merayakan ulang tahun, di satu sisi merasa bersyukur karena kita masih diberikan umur namun di sisi yang lain kita tahu bahwa setiap saat kematian selalu mengintai. Atau ketika terdapat perayaan perpisahan sekolah, kita bahagia karena akan menapak jejak yang lebih tinggi namun juga ada terselip penyesalan karena tidak bisa memperbaiki kesalahan di masa belajar. Dalam tasawuf juga dikenal istilah raja’ dan khauf yang harus hadir bersamaan ketika mengharapkan ridha Allah Swt. Rumit bukan?
Namun lagi dan lagi, ’ulama hebat kita telah membahas tentang hal ini jauh-jauh hari. Kita semua tahu bahwa definisi fiqh yang kaprah digunakan adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang hukum syara’ ’amaliyah yang didasarkan pada dalil-dalil terperinci. Kata kuncinya ada pada kata ’amaliyah yang bermakna perbuatan. Syekh Abdul Wahab Khalaf mengatakan satu di antara tiga syarat perbuatan seseorang dikenai taklif adalah perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang mungkin untuk dilakukan. Maka dalam Islam, kita tidak pernah menemukan perintah Allah Swt. atas sesuatu yang mustahil dilakukan hamba-Nya, termasuk dalam hal ini adalah apa yang beliau namakan dengan Al-Umur Al-Jibillah. Hemat penulis, hal ini bisa diterjemahkan dengan istilah naluriah. Naluriah ini tidak bisa diusahakan dan dikendalikan karena ia hanya tunduk pada aturan-aturan kholqiyyah dan berjalan apa adanya.
Maka kalau ada larangan Allah Swt. untuk tidak mati kecuali dalam keadaan Islam, yang dimaksud adalah Allah Swt. menginginkan untuk kita konsisten meniti jalan yang menguatkan iman dan akidah sehingga oleh Allah Swt. kita akan diantarkan menuju kematian yang tetap berpegangan teguh pada agama-Nya. Kalau ada perintah Nabi Saw. untuk tidak marah, yang dimaksud bukanlah untuk tidak marah yang diautomatisasi karena ia ghoiru kasbi (tidak bisa diusahakan). Nabi Saw. hakikatnya berkehendak untuk kita tidak menyertai kemarahan dengan perbuatan buruk lain berdasarkan syahwat nafsu belaka. Marahnya boleh, tapi kendalikan diri.
Termasuk tentu saja juga dalam konteks Ramadhan, kita (khususnya penulis) 'kan tidak bisa membohongi perasaan yang agak susah-susah gimana gitu ketika Ramadhan datang, alasannya bisa yang sederhana semisal karena tidak ada sarapan dan berubahnya jam tidur, atau alasan yang lebih kompleks semisal karena produktifitas yang menurun dan makro ekonomi yang fluktuatif. Tapi mengendalikan diri untuk bersiap akan datangnya Ramadhan kita bisa kok, misalkan mulai mencicil puasa sunnah, latihan tadarusan panjang, mengaji konsisten dan sebagainya. Persiapan-persiapan itulah justru yang kemudian mengantarkan kita pada kebahagiaan yang hakiki karena nanti kita akan menjalani Ramadhan dengah keadaan bahagia sebab tinggal 'memanen', setelah sebelumnya sudah 'ditanam' dan 'disirami' di bulan-bulan yang lalu. Kebahagiaan menjalani Ramadhan itu pula yang mengantarkan pada rasa sedih yang teramat sangat karena ditinggal bulan mulia tersebut. Kalau tiba-tiba menangis di akhir Ramadhan justru aneh, jangan-jangan kita menangisnya karena belum dapat THR dan parcel lebaran.
Robi Pebrian