Muallimin Online,
Sejak berkembangnya paham ekonomi “mengeluarkan sekecil-kecilnya, dan mendapatkan sebesar-sebesarnya”, dan sebagaian besar orang di dunia percaya dan menjalankan paham itu, maka akibat yang ditimbulkan cukup luar biasa bagi kehidupan manusia selanjutnya. Tidak hanya dalam ekonomi, tetapi juga dalam politik dan sosial-budaya, termasuk dalam pendidikan.
Dampak yang paling nyata dan dirasakan sampai sekarang adalah kolonialisme oleh bangsa Eropah, yang mula-mula mengembangkan paham tersebut, ke bangsa-bangsa di Afrika, Asia dan Amerika. Kolonialisme secara nyata mengakibatkan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, bahkan perbudakan. Dampaknya bisa dirasakan hingga sekarang, setelah lebih setengah abad kolonialisme runtuh.
Dari paham tersebut juga berkembang kompetisi untuk menumpuk barang (modal) sebanyak-banyaknya di antara manusia. Kompetisi yang terjadi-pun, dalam kenyataannya sekarang, banyak yang berjalan secara tidak adil (fair). Karena orang yang lemah berhadapan dengan orang yang kuat secara langsung.
Kompetisi yang berwatak demikian, ironinya tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam sosial-budaya, dalam hal ini pendidikan, terutama pendidikan sekolah. Pelajar sekolah diajari berkompetisi untuk meraih nilai terbaik mata pelajaran di antara mereka, dan pelajar sekolah juga diikutkan kompetisi mata pelajaran dengan pelajar sekolah yang berbeda. Apa yang mau diraih dalam kompetisi? Yang mau diraih adalah prestasi.
Apa benar prestasi (accomplishment) itu diraih dengan kompetisi? Perlu diingat, dalam kompetisi itu ada yang menang, ada yang kalah. Sedangkan dalam meraih prestasi tidak seharusnya ada yang dikalahkan dan ada yang menang. Kecuali dalam bidang olah raga, yang mengukur kekuatan raga, kompetisi dalam kemampuan pikir dan jiwa tidak selayaknya dikompetisikan antar manusia.
Prestasi, selanjutnya, lebih bisa dilekatkan dengan konsep “barokah” (ziyadatul khair, bertambah baik). Dalam barokah, pelajar sekolah menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya dengan tidak mengalahkan yang lain. Dalam barokah, masing-masing pelajar sekolah akan berlomba-lomba untuk menjadi lebih baik dari kondisi semula (istibaaqul khairat). Karena itu, ada unsur tolong menolong (taawun), dimana pelajar sekolah yang belum mampu bisa belajar dari yang sudah mampu, begitu juga sebaliknya, yang sudah mampu menolong yang belum mampu.
Dari sini, kelak pelajar sekolah saat sudah menempati posisi masing-masing dalam kehidupan selanjutnya, baik dalam bidang ekonomi, politik maupun sosial-budaya bisa terus mengembangkan cara-cara taawun yang mereka pelajari saat di sekolahan.
Sehingga, mereka tidak melihat dunia sebagai sesuatu yang harus diraih dengan melulu “mengeluarkan sesedikit mungkin, dan mendapat sebanyak mungkin”, dan dalam meraihnya dilakukan dengan berkompetisi yang mengalahkan yang lain.
Sebaliknya, mereka bisa saling tolong menolong untuk menjadi lebih baik dari kondisi semula. Di saat mereka masing-masing sudah menjadi lebih baik dari kondisi semula, maka saat itulah mereka berprestasi. (ma)